A. Proses
Pendidikan kritis sebagai proses pembebasan potensi kemanusiaan manusia
Pendidikan kritis adalah
teori pendidikan yang meyakini bahwa terdapat muatan politik
dalam semua aktifitas pendidikan. Teori ini dalam dalam pembahasan filsafat
pendidikan disebut juga sebagai aliran kiri, karena berlawanan dengan
aliran pendidikan liberal dan konservatif. Teori pendidikan kritis ini tidak
merepresentasikan satu gagasan yang tunggal. Tetapi para pendukung aliran ini
disatukan dalam satu tujuan yang sama, yaitu memberdayakkan kaum tertindas dan
mentransformasi ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui media
pendidikan (Peter McLaren, 1998). Pendidikan yang ditawarkan oleh aliran
pendidikan kritis ini adalah pendidikan yang menekankan bagaimana
memahami, mengkritik, memproduksi, dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai
alat untuk memahami realitas hidup dan mengubahnya, jadi tidak sekedar
mengetahui pengetahuan saja. Ada proses pengolahan dan reproduksi gagasan di
dalamnya. pendidikan kritis mengambil unsur-unsur konstruktif dari mazhab
Frankfurt dan posmodernisme yang kemudian dicangkokkan dalam upaya mengontruksi
satu bentuk pendidikan yang membebaskan. Artinya, pendidikan harus bisa menjadi
medium bagi kritik sosial, tidak sebatas pengkodean peserta didik.
Pendidikan kritis menekankan
bahwa jalannya proses pendidikan tidak semata – mata hanya sebagai proses
pengkodean/kodeisasi atas peserta didik, tetapi kode – kode yang didapat
hanyalah sebagai modal untuk membantu proses berpikir dari peserta didik itu
sendiri. Salah satu tema yang menjadi pembasan dalam pendidikan kritis adalah
tentang kapitalisme karena pengaruhnya yang besar dalam kehidupan masyarakat
modern. Apa yang dihasilkan dari rahim kapitalisme adalah kebudayaan positif
dan rasionalitas teknokratik/instrumental. Ilmu yang disampaikan kepada peserta
didik dalam budaya ini adalah ilmu yang mengorientasikan mereka untuk
beradaptasi dengan dunia masyarakat industri, yaitu kehidupan masyarakat
sekarang. Proses pembelajaran akhirnya menjadi sebuah penganugerahan barang
jadi, pengetahuan dianggap sebagai barang jadi. Padahal dalam pendidikan kritis
pengetahuan adalah sesuatu nilai yang didapat sebagai hasil penemuan dialogis
bersama, antara peserta didik dan pengajar. Sehingga dalam pembelajaran
terdapat refleksi dari dalam diri peserta didik. Posisi antara pengajar dan
peserta didik dalam metode pendidikan seperti ini adalah relasi antara subjek
dan subjek. Karena kedua belah pihak adalah dua pihak yang saling memberikan
reaksi sehingga menghasilkan sintesa pengetahuan. Jika pendidikan adalah sebuah
pemberian pengetahuan yang sudah jadi, di mana peserta didik tidak tahu menahu
asal muasal dari pengetahuan tersebut, maka yang terjadi adalah pengobjekkan
atas peserta didik, karena pengetahuan adalah barang jadi, pengajar sebagai
subjek yang memberikan dan peserta didik adalah objek yang ditempeli dan
dimasuki pengetahuan yang sudah jadi tersebut.
Proses pendidikan kritis ini
lebih mengedepankan “bagiamana memikirkan suatu hal (how to think) ketimbang
apa yang dipikirkan ( what to think ). Sehingga dalam pendidikan
kritis yang diutamakan adalah bagaimana proses dari pendidikan bisa dipahami
dan diikuti oleh peserta didik dengan baik. Dan di sini metodologi dalam proses
pembelajaran tersebut menjadi lebih penting, di dalam proses ini termuat
bagaimana jalan berpikir, berdiskusi, berdebat, dan mengapresiasi pemikiran
orang lain menjadi hal yang lebih penting. Dan dialog menjadi jalan pembuka
penerapan pendidikan kritis ini.
Ø
Pendidikan kritis menurut para ahli
Paulo Friere Pendidikan
kritis ( critical pedagogy) adalah suatu bentuk pedagogi yang harus
diolah bersama, bukan untuk the oppressed
dalam perjuangan tanpa henti untuk merebut kembali kemanusiaan.
(Suharto,2012)
Nuryanto
( dalam Kartono) Pendidikan
kritis merupakan mazhab pendidikan yang meyakini terdapatnya muatan politik
dalam semua aktivitas pendidikan
Proses dialog akan menghasilkan
apa yang disebut Freire dengan conscientization, yaitu proses
berkembangnya kesadaran. Conscientization adalah proses dimana
mansia mempunyai critical awareness sehingga mampu melihat secara
kritis kontradiksi-kontradiksi sosial yang ada disekelilingnya dan mampu
mengubahnya. Pendidikan kritis menganggap bahwa tujuan pendidikan itu
sebenarnya adalah untuk meningkatkan kesadaran peserta didik, dari kesadaran
magis dan naïf, menuju kesadaran kritis. Untuk menuju pendidikan kritis
tersebut ada tiga tahapan yang harus dilewati, yaitu[ :
Ø Naming,
tahap menanyakan sesuatu (what is the problem ?), tahap ini
bertujuan untuk membentuk kepekaan terhadapa realitas sosial yang terjadi
disekitar.
Ø Reflecting,
tahap menanyakan pertanyaan mendasar untuk mencari persoalan utama (Why
is it happening), tahap ini dimaksudkan agar peserta didik dibiasakan
untuk berpikir kritis dan reflektif.
Ø Acting,
tahap pencarian solusi atau alternatif pemecahan masalah (what can be
done to change the situation) . Tahap ini adalah tahap yang bersifat
praksis.
Dari
tahap – tahap tersebut terlihat bahwa pendidikan kritis bukan sebuah wacana
yang sebatas teori belaka, namun semua teori praksis yang harus
diimplementasikan. Karena kebebasan tidak bisa hany diciptakan dari wacana
kebebasan, namun harus ada aksi pembebasan. Yang ingin dicapai dalam
pendidikan kritis adalah bagaimana kesadaran manusia itu bisa disadarkan
dari kesadaran semu. Kesadaran aktif yang kritis dan reflektif harus segera
dibangkitkan. Kesadaran kritis yang akan menyingkap apa yang sebenarnya yang
terjadi dalam realita. Dominasi pengajar, kekakuan, dan macetnya suatu dialog
dalam proses pendidikan dan pengajaran, harus digantikan percakapan kritis,
dialog yang hidup dan kedewasaan peserta didik meraih jati dirinya. Pendidikan
kritis ini dibentuk untuk bisa membebaskan semua potensi yang ada dalam diri
manusia, tidak ada lagi pengekangan dengan pembudayaan budaya pendidikan yang
bersifat injeksi ilmu semata. Selain itu, mitos – mitos akademis yang
dipercayai masyarakat sebenarnya adalah alat untuk menumpulkan kekritisan
masyarakat serta peserta didik dalam.
Mitos akademis secara
tidak langsung menciptakan otoritas yang secara tidak langsung telah
mengatur paradigma berpikir masyarakat. Mitos akademis yang telah
men-Tuhan-kan pendidikan sebagai penentu nasib sehingga harus diikuti dan tidak
boleh digugat harus segera ditepis. Dalam proses tersebut maka yang harus
dibuka adalah adanya peluang berdialog, dan diberikan hak bicara. Dengan adanya
hak bicara maka itu akan memunculkan sebuah aksi kultural, yaitu aksi untuk
membentuk sebuah pemahaman dan penafsiran serta reproduksi makna yang baru.
Dengan adanya reproduksi pemakanaan maka akan memunculkan situasi
transformatif. Situasi yang selalu bergerak dan menghasilakn perubahan yang
diharapkan sebagai progresitas bagi setiap manusia, bukan hanya untuk golongan
tertentu.
Pendidikan telah mengalami
pereduksian pemaknaan. Pendidikan (baca ; persekolahan) telah menjadi sebuah
ladang emas bagi individu , baik dari sisi penyelenggara maupun sebagai peserta
didik dan keluarganya. Terjadi pereduksian pemaknaan yang sangat memprihatinkan
di sini, pendidikan dianggap sebagai jalan yang untuk menuju masa depan yang
diiming – imingi dengan kejayaan dalam artian kelimpahan dalam bentuk materi.
Pendidikan dianggap sebagai sebagai salah satu jalan pembebasan dari
keterbelakangan kemampuan secara finansial atau pun sebagai sarana untuk
mempertahankan kekuatan finansial keluarga. Tidak bisa dipungkiri bahwa, materi
finansial memang hal yang penting terutama untuk mengukur kesejahteraan
manusia, namun pemahaman yang melulu dan berorientasi hanya pada titik fokus
itu telah men-dehumanisasi manusia. Dan dehumanisasi itu telah mengakar sebagai
mitos yang dipercaya sebagian besar kalangan akademisi sebagai tujuan yang
harus dicapai.
Pertanyaan seputar, “kuliah jurusan apa ?”, yang
kemudian dilanjutkan dengan,“ setelah lulus prospek kerjanya di mana ? “,
adalah pertanyaan yang menggambarkan bagaimana paradigma masyarakat kita dalam
menilai pendidikan. Paradigma masyarakat telah terbelenggu salah satu mitos
akademis ini semakin luas merebak dan diimani. Sehingga pendidikan yang telah
terinstitusi tersebut dengan mudah bisa memperngaruhi orang – orang untuk
mengikuti apa yang dikendaki oleh sistem institusi pendidikan tersebut. Dengan
mengarahkan paradigma berpikir masyarakat maka akan semakin tipis kemungkinan
bagi peserta didik tersebut untuk mengkritisi sistem pendidikan di mana dia
berada, karena ada suatu keharusan untuk mengikuti sistem tersebut yang dia
sendiri tidak sadar bahwa sistem tersebut telah mempengaruhi semua cara
berpikirnya. Peserta didik telah dirobotisasi dengan tuntutan – tuntutan
sistem.
Pendidikan yang semestinya untuk
meningkatkan pemahaman manusia dan mengasah kepekaannya berubah menjadi pabrik
pencipta manusia mekanistis, manusia yang dianggap memiliki rasio dan akal
tidak lebih menjadi manusia yang menerima dan menerapkan saja apa nilai – nilai
yang dianggap benar tanpa bisa memperhatikan nilai itu, karena dari pendidikan
yang dijalani hanya sebagai sebuah jalan yang harus dilalui sebagai prosedur
yang wajar dan benar, niatan untuk mengkritisi apakah nilai – nilai dan proses
pendidikan yang dijalani apakah pendidikan yang mendidik atau malah
merobotisasi telah berkurang atau malah telah menghilang dari sebagian besar
peserta didik. Pendidik menjadi Tuhan di dalam dunia persekolahan, dia yang
menentukan apa yang baik dan buruk. Dan peserta didik sebagai mesin penerima
dan berpikir sebatas kerangka yang telah diberikan, lantas di mana letak
pendidikan yang bertujuan untuk memanusiakan manusia, manusia yang menjadi
mesin penerima, dan hal ini dimungkinkan karena telah tidak disadari bahwa
tujuan pendidikan telah bergeser, yaitu tujuan pragmatis secara finansial.
Humanisasi melalui pendidikan telah ditumpulkan dengan tujuan diluar untuk
humanisasi manusia itu sendiri. Intitusi pendidikan telah menjadi ruang pencuci
otak.
Pendidikan yang telah diagungkan
sebagai jalan yang menentukan kesuksesan seseorang kemudian dibaca oleh kaum
liberal sebagai sebuah komoditas yang menggiurkan. Mitos akademis mengenai pendidikan
tersebut membuat masyarakat terlena dan bersedia melakukan apa saja demi
mendapat pendidikan yang telah menjadi barang komoditas. Pendidikan menjadi
sebuah sistem yang tak terbantahkan kebijakannya, karena pendidikan dianggap
sebagai tuhan yang baru, yaitu sebagai gudang kebenaran dan penentu nasib
manusia, pendidikan menjadi memiliki otoritas untuk mengatur pola berpikir
masyarakat, dan pola berpikir yang diatur tersebut diarahkan agar peserta didik
hanya mengikuti sistem saja sehingga tidak mengkritisi apa yang diterimanya
dari proses pendidikan tersebut. Hal ini dilakukan untuk menjaga dan
mempertahankan kelanggengan sistem pendidikan yang ada tersebut. Peserta didik
hanya diprogram sedemikian rupa sehingga bisa beradaptasi dengan lingkungan yang
ada, bukan untuk merubah realitas yang ada.
Contoh masalah riil pendidikan
kritis
Tempat
|
Masalah
|
|
Sekolah
|
-
Kurangnya pemahamnya guru terhadap tujuan pendidikan
kritis
-
Cara mengajar guru yang mengarahkan siswa untuk
menghafal
-
Metode pengajaran guru yang tidak sesuai
-
Masuknya teknologi yang banyak melahirkan pemikiran
yang praktis terhadap peserta didik
-
Tidak meratanya pelaksanaan kurikulum
-
Dikriminasi pendidikan yang terjadi terhadap anak
miskin
|
|
Pemerintah
|
-
Dikriminasi terhadap sekolah perdesaan
-
Kurikulum yang tidak sama antara di desa dan di kota
-
Kurangnya pemerataan pendidikan antara pendidikan
yang berada di kota dan yang ada di desa
-
Pengaplikasian dana bantuan sekolah yang tidak merata
-
Buku panduan belajar yang selalu berubah-ubah
|
|
Guru
|
-
Guru kurang menguasai teknologi
-
Kurangnya penguasaan materi pembelajaran
-
Guru tidak paham metode mengajar
-
Guru kurang memperhatikan kemampuan siswa
-
Cara belajar yang monoton
-
Penbelajaran yang mengarahkan siswa untuk menghafal
|
|
Kurikulum
|
-
Lemahnya kurikulum
-
Bergantinya kurikulum
-
Tidak meratanya kurikulum
-
Terlalu banyaknya kurikulum
-
Diskriminasi kurikulum terhadap sekolah perdesaan
-
Rancangan kurikulum yang tidak maksimal
|
Dengan melihat contoh diatas
dengan meningkatnya penggunaan teknologi pada proses belajar mengajar ternyata
juga memberikan dampak negative, karena memang masih banyak guru gaptek atau
guru yang tidak paham dengan cara penggunaannya, sehingga berimbas kepada
kemampuan siswa dan cara bepikir siswa, tidak hanya itu, perubahan kurikulum
seiring dengan perubahan roda pemerintahan menjadikan alasan mengapa
kualifikasi pendidikan di Indonesia sangat rendah dan hadirnya kurikulum 2013
ternyata menambah masalah baru bagi guru-guru yang tidak mampu mengoperasikan teknologi,
kenapa tidak karena tuntutan kurikulum yang mengharuskan dalam menyapaikan
pelajaran harus menggunakan LCD atau tekonologi lainya, dan perubahan kurikulum
ini juga telah mendiskriminasi sekolah-sekolah perdesaan atau sekolah-sekolah
yang memiliki sarana dan prasarana yang lengkap dalam melakasanakan kurikulum 2013.
Ø Pendidikan Demokrasi
Pendidikan
demokrasi yang merupakan tuntutan dari terbentuknya masyarakat madani Indonesia
mengandung bahwa: Manusia memerlukan kebebasan politik, kebebasan intelektual,
kesempatan untuk bersaing di dalam perwujudan diri sendiri, dan pendidikan yang
mengakui hak untuk berbeda percaya kepada kemampuan manusia untuk membina
masyarakat.
Adapun
tujuan pendidikan demokrasi adalah untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir
kritis dan berpikir demokratis, selain itu agar warga negara mengerti,
menghargai kesempatan dan tanggung jawab sebagai warga negara yang demokratis.
Demikian, pendidikan demokrasi demokrasi bukan hanya sekedar memberikan
pengetahuan dan praktek demokrasi, tetapi juga menghasilkan masyarakat dan
warga negara yang berpendirian teguh, mandiri, memiliki sikap selalu
ingin tahu, dan berpandangan jauh kedepan.
Pendidikan
demokrasi mutlak diperlukan, sebagai sosialisasi nilai-nilai demokrasi supaya
bisa diterima dijalankan oleh rakyat (warga dan pemerintahan). Tujuannya
mempersiapkan Warga Negara pemerintahan berperilaku-bertindak demokratis,
melaluui aktivitas menanamkan pada generasi muda akan pengetahuan, kesadaran
dan nilai-nilai demokrasi.
Contoh
riil Masalah Pendidikan Demokrasi
Tempat
|
Masalah
|
|
Sekolah
|
-
Kurangnya Penanaman cara berpikir yang kritis dan
demokratis
-
Kurangnya penanaman ahlak di sekolah
-
Tidak adanya sikap tanggung jawab guru
-
Kurangnya perhatian kepala sekolah terhadap tujuan pendidikan
demokrasi
-
Tidak adanya pelajaran ahlak di sekolah SD/SMP
-
Kualitas guru yang sangat rendah
|
|
Pemerintah
|
-
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan
-
Bercampunya politik dengan pendidikan
-
Tidak adanya perhatian pemerintah terhadap tujuan pendidikan
demokrasi
-
Kurangnya pemahaman pemerintah terhadap pendidikan
demokrasi
-
Bergatinya kurikulum setiap pergantian pemerintah
-
Kurangnya hak guru
|
|
Masyarakat
|
-
Lingkungan masyarakan yang tidak berpendidikan
-
Kuranya perhatian masyarakat terhadap pentingnya
pendidikan
-
Lingkungan masyarakan yang tidak sehat
-
Tidak adanya rasa tanggung jawab masyarakat terhadap
pentingnya pendidikan
-
Ekonomi masyarakat yang lemah
|
|
Orang tua
|
-
Mahalnya biaya pendidikan
-
Ragunya orang tua terhadap kesediaan lapangan kerja
-
Kurangnya pemahaman orang tua terhadap pentingnya
pendidikan demokrasi
-
Cara mendidik anak yang demokrasi
-
Membatasi kebebasan anak
|
|
Kurikulum
|
-
Berjalanya dua kurikum dalam satu tahun ajaran
-
Buku panduan yang tidak sesuai dengan tujuan
kurikulum
|
Dengan
melihat tujuan dari pendidikan demokrasi yang ingin mempersiapkan masyarakat
yang kritis dan berpikir demokrasi, namun dengan melihat kejadian nyata
dilapangan ternyata masih banyak masalah yang terjadi, akibanya berimbas pada
pola pikir masyarakat yang tidak belandaskan pada UUD pendidikan,
B. Masa depan guru dan siswa sebagai obejek
pendidikan
Tugas mencerdaskan bangsa
apakah ini menjadi pekerjaan guru semata? Jika memang benar seharusnya guru
menempati urutan tertinggi sebagai sosok yang sudah berperan membangun
peradaban bangsa atau bahkan bisa disebut pahlawan bangsa. Tantangannya adalah
apakah guru saat ini sudah siap menghadapi siswa sebagai “Generasi Penerus
bangsa” yang lahir dan besar di tengah-tengah pesatnya teknologi informasi?
Karena disisi lain sebagian besar guru lahir dan besar dengan didikan antara
era 70 – 80 an.
Kondisi pendidikan saat ini
tampaknya berbeda dengan dua dekade yang lalu saat guru hanya berkutat pada
media buku dan materi yang dijejli oleh gurunya. Tantangan terbesar
guru pada era ini adalah menyiapkan siswa ajarnya untuk tantangan masa depan
yang lebih berat dan terus berkembang (Saksono:2010). Bagaimana caranya guru mengcreat
siswa yang setiap hari tidak pernah lepas dari Gadget. Ya, salah
satu caranya adalah menselaraskan kearifan dan keterampilannya dengan teknologi
yang lazim digunakan siswa tentunya. Siswa saat ini tidak bisa lepas dari
gadgetnya berupa handphone pintar sehingga tidak menutup kemungkinan beragam
informasi bisa diakses. Mereka adalah digital native, penduduk asli era
digital.
Pertanyaan yang muncul adalah
apakah guru saat ini sudah siap masuk ke dunia siswa yang serba digital? Siap
atau tidak inilah kenyataannya. Perlu kompetensi tambahan yang harus diupgrade
yaitu kompetensi mengolah informasi dengan pendekatan digital. Contoh yang
paling nyata adalah media sosial facebook, media yang sudah lazim di dunia
siswa. Guru yang professional akan mengambil kesempatan ini untuk memanfaatkan
sebagai media pembelajaran, misal membuat grup diskusi tentang pelajaran tertentu.
Masalah yang muncul adalah apakah siswa suka bila guru masuk ke dunianya?
Karena tidak semua siswa mau berteman dengan guru di dunia online tersebut.
Siswa saat ini tidak bisa
disamakan dengan siswa pada era 80an, untuk membuat siswa nyaman berinteraksi
di sosial media maka guru harus menjadi “teman” baik yang berbicara
dengan “bahasa” siswa. Artinya guru harus mampu menyelami dunia siswa
dan mencari celah yang pas dengan belajar siswa, guru seperti ini yang
dibutuhkan saat ini karna pada nantinya guru ini akan menjadi panutan dan model
bagi siswanya.
Berbicara mengenai kemampuan
akademis guru era 80an sudah tidak perlu diragukan Namun, untuk konsep
pembelajaran yang kreatif dan inovatif harus belajar lagi karna perlu upaya
memadukan teori dan kehidupan sehari-hari yang dekat dengan dunia siswa.
Pembelajaran kreatif dapat diperkaya dengan mengajak siswa untuk meriset data
di Internet. Di sini guru berperan besar dalam membimbing siswa mencari
informasi di Wikipedia, Google, dan Blog. Termasuk memilah informasi yang tepat
dan menghindari informasi yang menyesatkan.
Belajar memasuki dunia siswa
adalah cara yang cukup efektif untuk memcahkan masalah belajar siswa, jujur
saja perkembangan informasi teknologi cenderung menjadi kendala bagi guru saat
ini, sehingga memaksakan pada siswa untuk belajar dengan cara belajar seperti
dulu (konvensional) yang menurutnya lebih jitu menghasilkan seperti para
“pembesar” saat ini yang sedang berkiprah di masyarakat. Namun, ingat bahwa
zaman dahulu tidaklah sama dengan zaman sekarang, maka janganlah siswa zaman
sekarang disamakan pengajarannya dengan zaman dulu, karena mereka adalah anak
zaman. Pun dengan memasuki dunia mereka, tentunya dapat melakukan pemantauan
dan proses filterisasi akibat dampak kecanggihan informasi, seorang guru dari
kartun Jepang Jiraiya Sensei mengatakan,”siswa adalah bentuk estimasi dari
seorang guru”. Mari jadi guru yang dapat menginspirasi siswa dengan cara
belajar yang tepat bagi siswa.
Analisis kritis masalah guru dan
siswa
Pelaku
|
Masalah
|
|
Siswa |
-
Siswa egan untuk membaca
-
Siswa lebih sisbuk dengan gadget disbanding memabca
buku
-
Tawuran anatara siswa
-
Kurang rasa ingin tahu siswa terhadap materi
pembelajaran
-
Minat baca siswa yang sangat rendah
|
|
Guru |
-
Tidak adanya jaminan kesejahteraan guru
-
Rendahnya gaji guru
-
Guru tidak memahami teknologi
-
Kurang penguasaan metode pengajaran guru
-
Kurangnya sarana dan prasaran pemebelajaran
-
Sulitnya menjadi guru PNS
-
Terikatnya guru PNS dengan politik daerah
-
Buku panduan yang slalu berubah.
|
Dengan
memperhatikan masalah guru dan siswa sebagai objek pendidikan, telah
menggabarkan bagaiman lemahnya pendidikan di Indonesia coba tengok Negara
jepang salah satu Negara yang penuh dengan teknologi dan dimana guru menjadi
orang yang paling di hormati dan yang paling di perhatikan karena mereka
beranggaapan bahwa gurulah yang mampu merubah sikap manusia untuk menjadi lebih
baik, tidak hanya itu di jepang guru sangat di perhatikan kesejahateraanya.
Namun di inidonesia lain keadaanya, malah guru menjadi pekerjaan yang paling
bawah dan kurang di perhatikan, bagaimana tidak seperti itu, setiap pergantian
pemerintah akan selalu lahir kebijakan baru yang selalu mempersulis guru
Dilihat dari
siswa, siswa sekarang adalah mahluk tidak bias lepas dengan teknologi namun
kemajuan teknologi bukanya menambah prestasi siswa yang ada diindonesia. Malah
sebaliknya dengan kemajuan teknologi siswa banyak melahirkan kejahatan, mulai
dari pemerkosaan, pembunuhan sampai pada penggunaan obat-obatan terlarang,
siswa jaman sekarang telah menjadi bagian terbesar yang melahirkan banyak
kejahatan yang terjadi di inidonesia. Kasus tersebut melahirkan banyak
pertanyaan yang begitu memusingkan karena memang sama-sma kita ketahui bahawa
tujuan pendidikan nasional adalah memanusiakan manuai, namun tujuan pendidikan
nasional ini telah banyak bertolak belakang dengan apa yang dihasilkan oleh
para peserta didik di Indonesia
Daftar
Rujukan
Paulo
Freire. Politik Pendidkan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan (Yogyakarta:
ReaD dan Pustaka Pelajar), 2002.
Kartono. 2010. Pendidikan Kritis dan Reformasi Pendidikan
Nasional. Khazanah
Pendidikan Jurnal Ilmiah Kependidikan. Vol.III
Mksi atas bahan bcaax
ReplyDelete