PEMIKIRAN JOHN DEWEY TENTANG PENDIDIKAN
John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat, yang termasuk
Mazhab Pragmatisme. Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus
sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan.
Dewey dilahirkan di Burlington pada tahun 1859. Setelah
menyelesaikan studinya di Baltimore, ia menjadi guru besar dalam bidang
filsafat dan kemudian dalam bidang pendidikan pada beberapa universitas
Sepanjang kariernya, Dewey menghasilkan 40 buku dan lebih dari 700-an artikel.
Dewey meninggal dunia pada tahun 1952.
Dari tahun 1884 sampai 1888, Dewey mengajar pada Universitas
Michigan dalam bidang filsafat. Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota.
Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan
menjadi kepala bidang filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, ketika
ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak pengaruh pada
pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian hari. Ia menjabat
sebagai pemimpin departemen filsafat dari tahun 1894-1904 di universitas ini.
Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The
Dewey School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai
pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis
sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan
tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti,
ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan
pemecahan masalah. Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya
pemikiran idealisme yang telah mempengaruhinya. Jadi selain menekuni
pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika.
Menurut Dewey, tugas filsafat adalah memberikan pengarahan
bagi perbuatan nyata dalam kehidupan. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh
tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisik belaka. Filsafat harus berpijak
pada pengalaman, dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara
kritis. Dengan demikian, filsafat dapat menyusun suatu sistem nilai atau norma.
Cara-cara non-ilmiah (unscientific) membuat manusia
tidak meruasa puas sehingga mereka menggunakan cara berpikir deduktif atau
induktif. Kemudian orang mulai memadukan cara berpikir deduktif dan induktif,
dimana perpaduan ini disebut dengan berpikir reflektif (reflective thinking).
Metode ini diperkenalkan oleh John Dewey antara lain:
- The Felt Need (adanya suatu kebutuhan): Seseorang merasakan adanya suatu kebutuhan yang menggoda perasaanya sehingga dia berusaha mengungkapkan kebutuhan tersebut.
- The Problem (menetapkan masalah): Dari kebutuhan yang dirasakan pada tahap the felt need diatas, diteruskan dengan merumuskan, menempatkan dan membatasi permasalahan (kebutuhan). Penemuan terhadap kebutuhan dan masalah boleh dikatakan parameter yang sangat penting dan menentukan kualitas penelitian. Studi literatur, diskusi, dan pembimbingan dilakukan sebenarnya untuk men-define kebutuhan dan masalah yang akan diteliti.
- The Hypothesis (menyusun hipotesis): Jawaban atau pemecahan masalah sementara yang masih merupakan dugaan yang dihasilkan misalnya dari pengalaman, teori dan hukum yang ada.
- Collection of Data as Avidance (merekam data untuk pembuktian): Membuktikan hipotesis dengan eksperimen, pengujian dan merekam data di lapangan. Data-data dihubungkan satu dengan yang lain untuk ditemukan kaitannya. Proses ini disebut dengan analisis. Kegiatan analisis dilengkapi dengan kesimpulan yang mendukung atau menolak hipotesis.
- Concluding Belief (kesimpulan yang diyakini kebenarannya): Berdasarkan analisis yang dilakukan pada tahap ke-4, dibuatlah sebuah kesmpulan yang diyakini mengandung kebenaran, khususnya untuk kasus yang diuji.
- General Value of the Conclusion (memformulasikan kesimpulan umum): Kesimpulan yang dihasilkan tidak hanya berlaku untuk kasus tertentu, tetapi merupakan kesimpulan (bisa berupa teori, konsep dan metode) yang bisa berlaku secara umum, untuk kasus lain yang memiliki kemiripan-kemiripan tertentu dengan kasus yang telah dibuktikan diatas.
Pandangan
Dewey Dalam Dunia Pendidikan
1.
Pengalaman dan Pertumbuhan
Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi
Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan
suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan
meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the
making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori
evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan
lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan.
Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam
filsafat instrumentalisme. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan
asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak
kembali menuju pengalaman. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan
dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of
Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai
miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan.
Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan
belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.
2. Tujuan
Pendidikan
Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku,
melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang
berguna. Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang
dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk
mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap
mengadakan eksplorasi.
Belajar haruslah dititik tekankan pada praktek dan trial
and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai
persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan
pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Tujuan pendidikan adalah
efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara
bebas dan maksimal.
Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey
berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan
mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan
yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar
siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan. Dasar demokrasi adalah
kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam
kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama.
Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman)
yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent.
Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental
continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang
semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self)
kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke
pendidikan sebagai proses sosial.
3. Teori
Demokrasi dan Kepemimpinan Demokrasi
Menurut John Dewey (1935), demokrasi bukan hanya sekedar
kebebasan dalam tindakan, namun terutama kebebasan kecerdasan (freedom of
intelligence). Dewey mengatakan bahwa : unless freedom of action (is guided) by
intelligence, its manifestation is almost sure to result in confusion and
disorder (Dewey, 1935, dalam Wraga, 1998). Oleh karena itu komitmen demokrasi
untuk membebasan kecerdasan lebih fundamental daripada kebebasan dalam
bertindak.
Ciri dari suatu kelompok yang demokratis adalah adanya
unsur-unsur popular sovereignty, freedom, equality, individualism dan social
responsibility. (Wraga, 1998). Secara sederhana, popular sovereignty dapat
diartikan memutuskan suatu permasalahan berdasarkan kesepakatan bersama antara
anggota kelompok.
Dalam terminasi Dewey, freedom diartikan sebagai kebebasan
dalam melakukan suatu tindakan, yang didasari oleh kebebasan dalam berpikir.
Untuk dapat melakukan suatu tindakan seseorang harus memiliki kemampuan untuk
berpikir dan berbicara secara bebas. Jadi kemampuan melakukan refleksi dan
komunikasi merupakan prasyarat (prerequisite) untuk melakukan tindakan
demokratis yang cerdas (Wraga,1998). Prinsip equality dalam sistem demokrasi
menunjukkan bahwa setiap anggota kelompok adalah setara. Tidak ada anggota
kelompok yang dapat mengklaim bahwa dirinya harus diperlakukan lebih istimewa
dibandingkan anggota yang lain. Integritas dari setiap anggota sebagai individu
yang bebas sangat dihargai. Setiap individu mempunyai hak untuk berpendapat dan
bertindak tanpa intimidasi atau tekanan dari anggota yang lain.
4. Pendidikan
Demokrasi Dalam Rangka Integrasi Bangsa
John Dewey filosof pendidikan yang melihat hubungan yang
begitu erat antara pendidikan dan demokrasi. pendidikan tidak dapat dilepaskan
dari penyelenggaraan negara yang demokratis. Pendidikan demokrasi sebagai upaya
sadar untuk membentuk kemampuan warga negara berpartisipasi secara bertanggung
jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat penting.
Dengan tingginya partisipasi rakyat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, maka dapat mendorong pada terwujudnya pemerintah yang
transparans dan akuntabel. Pemerintah yang demikian merupakan pemerintah yang
demokratis, dekat dengan rakyat sehingga menjadi perekat bangsa.
Sedangkan pentingnya pendidikan demokrasi antara lain dapat
di lihat dari nilai – nilai yang terkandung di dalam demokrasi. Nilai-nilai
demokrasi dipercaya akan membawa kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih
baik dalam semangat egalitarian dibandingkan dengan ideologi non-demokrasi.
Dewey juga menjadi sangat terkenal karena
pandangan-pandanganya tentang filsafat pendidikan. Pandangan yang dikemukakan
banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika. Ketika ia
pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia telah mulai
mengkritik tentang sisitem pendidikan tradisional yang bersifat determinasi.
Sekarang ini, pandangannya tidak hanya digunakan di Amerika, tetapi juga di
banyak negara lainnya di seluruh dunia.
Untuk memahami pemikiran John Dewey, kita harus berusaha
untuk memahami titik-titik lemah yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri.
Ia secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan
pentingnya peranan guru dan mengesampingkan para siswa dalam sestem pendidikan.
Penyikasaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk penerapan dokrin-dokrin
menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan. Tak lepas dari
kritikannya juga yakni sistem kurikulum yang hanya “ditentukan dari atas” tanpa
memperhatikan masukkan-masukkan dari bawah. Intinya bahwa, dalam dunia
pendidikan harus diterapkan sistem yang demokratis.
Menurutnya, proses belajar berarti menangkap makna dengan
cara sederhana dari sebuah praktek, benda, proses atau peristiwa. Menangkap
makna berarti mengetahui kegunaannya. Sesuatu yang mempunyai makna berarti
memiliki fungsi sosial. Oleh karena itu pendidikan harus mampu mengantar kaum
muda untuk memahami aktivitas yang mereka temukan dalam masyarakat. Semakin
banyak aktivitas yang mereka pahami berarti semakin banyak pula makna yang
mereka diperoleh. Dalam pengertian inilah ia mengatakan bahwa mutu pengetahuan
mempengaruhi demokrasi.
Dewey menganggap pentingnya pendidikan dalam rangka mengubah
dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat
berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi
yang terkonstitusi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya
pengormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang.
Gagasan ini juga bertolak dari gagasannya tentang perkembangan seperti yang
sudah di bahas sebelumnya. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari
filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang
demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat
diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama, dan membangun kembali yang
baru. Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan
masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya secara sarat dengan
formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib.
Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara
tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang
bertolak dan merupakan kontuinitas dari refleksi atas pengalaman juga akan
mengembangkan moralitas dari anak didik. Dengan demikian, belajar dalam arti
mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses
ini, ada perjuangan terus-menerus untuk membentuk teori dalam konteks
eksperimen dan pemikiran.
Dan mengenai konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Dewey
bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat.
Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh
guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa
haus akan pengetahuan. Konsep ini sudah banyak di lakukan oleh sekolah-sekolah
dan konsep ini menyempurnakan konsep Bloom yang membagi pendidikan menjadi tiga
domain( kognitif, afektif, dan psikomotor). Dengan konsep ini pendidikan akan
menjadi lebih baik, khususnya di Indonesia, karena seorang siswa juga berhak
mengeluarkan pendapat apabila ia kurang sepaham dengan apa yang telah
disampaikan oleh gurunya, selama argument yang dia berikan logis.
Sumber:
Baron
& Byrne. Psikologi Sosial.
Sobur,
Alex. Psikologi Umum
http://id.wikipedia.org/wiki/John_Dewey
http://wulanalfitiana.blogspot.com/2012/04/pemikiran-john-dewey-tentang-pendidikan.html
0 comments:
Post a Comment